Sabtu, 07 Juli 2012

Dari Seorang Anak Untuk Bapak

  


Pulanglah Pak
 (Fitri Nganti Wani - anak dari Widji Thukul)


Pulanglah, Pak
Kami sekeluarga menunggumu, Pak
Kawan-kawanmu juga menunggumu, Pak

Pulanglah, Pak
Apakah kamu tidak tahu
Indonesia pecah, Pak?

Pipa-pipa menancap di tubuh pertiwi kita
Asap-asap dari pabrik-pabrik
Mengotori pertiwi kita, Pak
Limbah-limbah membuat sungai-sungai
dan kali-kali tercemar
Kami terpaksa tutup hidung, Pak
Pertiwi kita menangis
Pertiwi kita butuh kamu, Pak

Pulanglah, Pak
Apakah kau tidak ingat aku lagi
Aku anakmu, Pak
Aku, adik, ibu dan semua orang merindukanmu, Pak
Apakah hanya dengan doa-doa saja
Aku harus menunggu?

Penguasa, kembalikan Bapakku!!!

Widji Thukul, Kau Tetap Menjadi Peluru

Widji Thukul mata kanannya hampir tidak bisa melihat akibat dibenturkan di mobil polisi oleh aparat

Wiji Thukul Wijaya lahir di Solo 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak dari keluarga Katolik. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada 1980.

Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampung.

Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan.

Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”

Tahun 1995 Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polisi saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex. Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai "orang hilang", korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.

Tahun 2002 Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan HAM. 


Homicide, hip hop Bandung juga pernah mengapresiasikan beliau dengan membuat musikalisasi puisi beliau yang berjudul Sajak Suara.

Pesan Untuk Pak Harto: Kembalikan Widji Thukul bersama 12 lainnya!

 Source: http://www.goodreads.com/author/show/672218.Wiji_Thukul# with edited.

Selasa, 03 Juli 2012

HOMICIDE 1994-2007






Homicide adalah sebuah band hip hop asal Bandung yang sudah resmi bubar pada tahun 2007 oh ya berdiri kalo gak salah tahun 1994. Dulunya saya kurang tahu tentang Homicide tersebut sampai ketika teman saya mau ikut lomba puisi dan memberi tahu saya bahwa puisi nya dari lirik lagu Homicide. Setelah itu saya mencari tahu apa saja tentang Homicide mulai dari download lagu-lagunya, sejarahnya bagaimana sampai saya tahu semua seluk beluknya dan baru sadar bahwa saya mengenal mereka ketika mereka telah lama bubar. Dulu hampir setiap hari saya mendengarkan lagu-lagu dari hip-hop underground tersebut, menikmati setiap beat demi beat, mendengarkan suara yang menggelegar dari Bang Ucok dan juga Sarkasz. Sebelum saya mengenal Homicide, saya beranggapan bahwa Hip Hop adalah musik yang blink blink, yang selalu memakai kalung emas, memakai pakaian mahal. Tapi setelah saya mengenal Homicide, semua anggapan tersebut pudar.

Homicide terkenal dengan lirik yang pedas dan berani, tidak seperti band hip hop lainnya yang hanya mengumbar teori, sampai-sampai FPI mengatakan bahwa darah Ucok halal untuk dibunuh (katanya) karena telah menghina masyarakat Islam dalam lagunya yang berjudul Puritan. Saya sendiri sebagai orang Islam kurang setuju dengan anggapan dari FPI, menurut saya Bang Ucok hanya menyampaikan tentang gambaran teroris yang mengatasnamakan Islam bukan orang muslim yang benar-benar mempunyai agama yang sangat kuat.

Mungkin Homicide sudah bubar dan Bang Ucok sudah punya Trigermortis yang juga band hip hop underground, tapi lagu-lagunya akan tetap didengar oleh banyak orang. Mungkin jika suatu saat saya punya anak, akan saya perdengarkan kepada anak saya kelak. Dan saya akan berkata bahwa dulu Indonesia pernah mempunyai band hip hop yang sangat luar biasa berani dan juga menginspirasi banyak orang.
Terimakasih Homicide atas semua karyamu.


Sabtu, 23 Juni 2012

Hymne Penghitam Langit Dan Prosa Tanpa Tuhan






Tanggal Peluncuran2003
Label:Harder Records

Sinopsis
Balcony :
Partitur amarah dan tawa lepas, komposisi dendam tertahan dan air mata serta hymne penghitam langit ini adalah dokumentasi kami selama hampir kurang lebih 2 tahun lebih sejak kami mendokumentasikan jurnal kehidupan personal kami lewat agenda Terkarbonasi. Kami tidak akan pernah bisa cukup berterimakasih khususnya sampai dirilisnya agenda baru kami ini. Bekerjasama dengan kolektif hiphop setan Homicide setidaknya telah membuka sudut pandang kami terhadap konsep musik Balcony yang tidak akan pernah bisa diam disitu saja. Mari kita nikmati mimpi buruk ini besaram - sama… semoga kita masih bisa menemukan secuil awan putih di balik langit hitam ini…

Homicide :
Ketika persahabatan mulai terasa terjalin, kami sering berandai kapan ia akan berakhir. Memang melelahkan untuk membayangkan suatu saat dimana sahabat - sahabat kami atau kami sendiri berubah sedemikian rupa sehingga persahabatan beringsut menjadi yang sesuatu yang sekedar’pernah’. Namun kenyataannya selalu saja seperti itu. Mungkin ini salah satu alasan mengapa terkadang rasanya ingin mendokumentasikan memori persahabatan yang pernah kami jalani dalam bentuk apapun, sesuatu yang menjadi salah satu latar belakang ‘split album’ ini.

Awalnya semua materi disini kami rencanakan untuk dikemas dalam bentuk mini album alias e.p., tentunya sebelum kawan-kawan di Balcony mengajak kami untuk membuat sebuah album patungan. Sejujurnya, sebuah kehormatan bagi kami untuk berbagi pita kaset bersama Balcony. Baik Balcony sebagai kolektif musisi handal, sebagai salah satu grup favorit kami, dan terlebih lagi; sebagai teman dekat, sebagai salah satu dari banyak sahabat dalam kehidupan kami yang pernah berbagi amarah, tawa dan menangis bersama. Semua yang suatu saat kami yakini akan menjadi sesuatu yang sekedar ‘pernah’ tadi.

Maka sebelum waktu itu datang, kami sangat berharap ‘split album’ ini dapat menjadi dokumentasi, setidaknya bagi kami. Sebelum satu persatu dari kami nanti berubah dimakan masa, kebosanan, dan aktivitas dunia modern berikut segala macam tetek bengek dan ‘efek samping’-nya, menjadi ‘dewasa’ dan membusuk. Karena memang tak ada jaminan bahwa hal itu dapat dihindari di kemudian hari. Agar suatu saat nanti kami dapat beromantisme bahwa pernah ada keceriaan ketika langit menjelaga, amarah ketika kepatuhan me-rezim, kebisingan ketika kesunyian membunuh, lantai dansa katarsis ketika ‘pembebasan’ menusuk dari belakang, pohon yang rindang untuk berteduh ketika surga terlalu indah dan neraka kalah memuakan, muara pelarian ketika tak lagi punya tenaga untuk menulis dan mulut terlalu lelah untuk menuturkan prosa-prosa pelipur.

 source: http://www.facebook.com/discography/album.php?aid=91612982059